Keong sawah atau yang lebih dikenal dengan nama tutut adala hewan yang bisa diolah menjadi hidangan kuliner yang begitu lezat. Bahkan di Pangandaran, santapan hasil olahan tutut telah menjadi makanan khas yang digandrungi banyak orang. Tutut umumnya tinggal di perairan tawar di dataran rendah. Mereka bisa ditemukan di rawa-rawa, danau, sungai yang beraliran lambat, dan area kolam, serta tersebar hampir di seluruh pulau besar Indonesia, kecuali Papua. Tutut juga dapat ditemukan di wilayah lain di Asia Tenggara, seperti Thailand, Laos, Kamboja, dan Vietnam. Ketika bertelur, tutut mengeluarkan telur-telur yang dibungkus oleh sebuah lapisan kapur yang berwarna putih kekuningan. Dikutip dari jurnal karya Machfudz Djajasasmita, peneliti dari Balai Penelitian Biologi dan Pengembangan Zoologi LIPI, satu gumpalan telur biasnaya memiliki panjang 20 hingga 50 milimeter dan mengandung 15 hingga 50 butir telur.
Waktu bertelur tutut tidak terbatas. Mereka bisa bertelur sepanjang tahun, namun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Machfudz, masa bertelur tutut mencapai puncaknya pada November karena tutut menghasilkan telur paling banyak pada bulan ini dan mencapai puncak terendah pada Juli.
Hal ini mungkin dikarenakan pengaruh musim. Musim hujan dianggap penting untuk perkembangan telur-telur tutut. Sebab, pada musim itu telur-telur lebih sering terkena air dan suhu udara cenderung lebih lembap dan lebih dingin. Akibatnya, kemungkinan telur-telur untuk mengalami kekeringan jadi lebih kecil sehingga persentase yang menetas pun akan lebih tinggi. Telur-telur biasanya akan menetas setelah 15 hingga 30 hari keluar.
Sebagai hewan herbivora, tutut bergantung pada tumbuhan air sebagai makanannya. Beberapa jenis tanaman air yang menjadi makanan tutut adalah eceng gondok, ganggang, jamur, dan spons. Namun ada juga penelitian yang menemukan sisa-sisa serangga di perut tutut.
Dalam penelitian Machfudz, tutut diketahui lebih memilih untuk memakan daun pepaya mati daripada yang masih segar. Anak tutut juga lebih memilih daun-daun yang sudah lunak dan tidak dapat memakan tulang daun yang terlalu keras untuk gigi mereka yang masih halus.
Penjual tutut atau keong air tawar sekarang semakin sulit ditemui di Perkotaan. Oleh karena itu, tak ada salahnya untuk mampir ke Warung Dapoer Kampoeng saat berlibur ke Pangandaran, Jawa Barat. Makanan andalan dari Warung Dapoer Kampoeng adalah tutut dengan bumbu yang kaya. Ada dua varian rasa tutut yang ditawarkan yakni White Curry dan Pindang Gunung. Sajian paling direkomendasikan tutut Pindang Gunung, semakin nikmat saat disantap hangat-hangat. Satu porsinya cukup banyak banyak, semuanya disajikan di dalam mangkuk. Kuahnya cukup melimpah dan memilki aroma rempah nan sedap. Ketika kuahnya diseruput, terasa sensasi pedas, gurih, dan asin, yang bercampur menjadi satu.
Selain cara masak tutut yang harus tepat, Ibu Yani menyebutkan bumbu juga penting dalam mengolah tutut. Bagian cangkang tutu harus dipotong agar penikmat tutut tidak kesulitan menyantapnya. Selain itu, bumbu jadi bisa masuk dan meresap ke daging tutut.
Cara makan tutut ini sangat mudah. Tidak perlu menggunakan alat penghancur cangkang. “Caranya tinggal disruput atau dikecrot isian keongnya. Sensasi kecrot saat menikmati tutut juga menambah cita rasa,” kata Ibu Yani. Namun bagi penikmat ‘amatir’ yang kesulitan menyedot daging tutut dari cangkangnya, mereka bisa memakai alat bantu berupa tusuk gigi untuk mencongkel daging tutut dari cangkangnya. Secara ilmiah, hewan yang biasa juga disebut sebagai keong gondang ini ternyata memiliki nama latin Pila ampullacea. Secara ukuran, jenis keong air tawar ini bisa memiliki tinggi cangkang 100 milimeter serta garis tengah sekitar 100 milimeter.